Tuesday, May 13, 2014

Zakat sebagai pengurang Pajak?

Mencermati tulisan Nur Efendi (CEO Rumah Zakat) di Republika.co.id yang saya kutip sebagai berikut :

"Apa betul zakat bisa mengurangi pajak? Bagaimana caranya Pak? SMS itu menyapa saya dalam perjalanan pulang ke Bandung, setelah menghadiri sebuah acara di Jakarta.
 
Saya agak tersenyum. Saya sendiri tahu bahwa zakat memang bisa jadi pengurang pajak jika kita bayarkan kepada lembaga resmi yang sudah berizin dari pemerintah. Tapi bagaimana padangan Hukumnya atau bagaimana mekanisme penghitungannya, itu yang saya belum terlalu tahu. Saya lalu membuka buku pajak yang ada di Mobil saya.Saya searching dulu pada pasal berapa saja undang-undang yang membahsa zakat mengurangi pajak ini berada. Ketemu.  UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,  yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:
 
“Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”

Selain itu, Pasal 1 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto juga menentukan:
 
“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:

a)    zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau

b)    sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.”

Ada yang menarik dari pasal diatas, yaitu kalimat “Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto”. Artinya bahwa yang dikurangi oleh zakat bukanlah nominal pajaknya itu sendiri, seperti di Malaysia itu. Tapi yang dikurangi adalah Objek Pajaknya sendiri. Artinya begini, jika seseroang berpenghasilan 50 juta/perbulan. Lalu berzakat 2,5% dari gajinya tersebut sebesar 1.250.000. Maka pajak akan dikenakan dari nominal Bruto sebesar 50 Juta dkurangi 1.250.000. Jadi Objek yang akan dikenai pajak adalah 48.750.000. Jika pajak yang dikenakan sebesar 5% saja dari 48.750.000 itu, maka akan ketemu angka 2.437.500. Jadi bukan mengurangi pajak. Sebab jika bahasanya adalah mengurangi pajak maka seharusnya pajaknya yang dikurangi nominal zakat, bukan sekedar mengurangi objek pajaknya. Kalau mengurangi pajak itu, maka nominal pajak yang harus kita bayar, dikurangi saja dengan nominal Zakat yang kita bayarkan. Saya coba konsultasikan dengan rekan saya yang kerja di kantor Pajak Jawa Barat, dan jawabannya memang benar, persis seperti apa yang saya ceritakan. Lalu saya balas SMS rekan saya tadi, lengkap dengan pembahasan yang agak panjang.

Saya berfikir, seandainya saja Zakat itu benar-benar mengurangi pajak, maka saya yakin akan berbondong-bondong orang membayar zakatnya di lembaga yang diizinkan pemerintah. Karena pengurangan pajaknya itu signifikan sekali. Tapi nampaknya Pemerintah punya persepsi lain tentang hal ini. Bisa jadi karena penggunaan zakat itu memang terbatas kepada 8 ashnaf (golongan) itu saja. Sedangkan Fungsi Pajak itu jauh lebih luas dari zakat. Dia bisa berfungsi sebagai pembayar hutang, untuk pembangunan jalan, atau hal lain yang sifatnya membangun Negara. Memang, membantu Fakir miskin, mengentaskan mereka dengan program pemberdayaan menjadi mandiri dan tepat guna adalah juga salah satu kegunaan dana pajak dan juga dana zakat. Tapi tentu menggunakan dana zakat tidak “semudah” menggunakan dana pajak.

Mari sejenak belajar dari negera tetangga sebelah kita, Malaysia. Pada tahun 1978, pemerintah Malaysia mengesahkan aturan setiap pembayaran zakat individu dapat menjadi pengurang pajak. Pada tahun 1990, zakat pengurang pajak mulai diberikan kepada perusahaan yang membayar zakat dengan potongan sangat kecil. Jika pembayaran zakat individu dapat menjadi pemotongan pajak 100 persen, pada tahun 2005, pemerintah Malaysia mengeluarkan keputusan menerima zakat perusahaan menjadi pengurang pajak hanya sebesar 25 persen saja. Pemerintah Malaysia masih belum menerima usulan agar zakat perusahaan dapat mengurangi pajak 100 persen. Karena itulah persidangan ini juga diselenggarakan dalam rangka mengkaji usulan kemungkinan zakat perusahaan dapat menjadi pengurang pajak perusahaan 100 persen, di mana pemerintah Malaysia masih terus mempertimbangkannya.

Dari data pengumpulan zakat dan pajak di Malaysia disebutkan bahwa penerimaan zakat negara pada tahun 2009 adalah sebesar RM 1,2 miliar, sementara penerimaan pajak negara adalah sebesar RM 75 miliar. Data tersebut menunjukkan bahwa penerimaan zakat Malaysia berbanding penerimaan pajak adalah sebesar 1,6 persen. Di Malaysia sendiri setelah diberlakukannya zakat pengurang pajak (khususnya zakat individu yang sudah 100 persen), ternyata data penerimaan penerimaan zakat dan pajak selama tiga tahun terakhir kedua-duanya terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan hasil kajian berbagai pihak di Malaysia, yang menjadi faktor penyebab penaikan pengumpulan zakat di Malaysia adalah : 1) Kampanye zakat yang semakin meluas, 2) Adanya zakat sebagai pengurang pajak, dan 3) Peningkatan kesadaran berzakat umat Islam di Malaysia. Sementara cara pembayaran zakat yang paling banyak dilakukan oleh muzakki (pembayar zakat) di Malaysia adalah melalui pemotongan secara langsung gaji para pegawai pemerintah atau karyawan perusahaan swasta.

Tentu saja dalam pandangan masyarakat Malaysia, masalah utama zakat adalah masalah pendistribusian. Meskipun uang zakat yang dikumpulkan oleh lembaga-lembaga zakat negeri di Malaysia besar, akan tetapi kalau orang miskin terus semakin banyak, maka akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan zakat. Di Malaysia saat ini jumlah orang miskin adalah sebesar 3,5 persen dari total populasi penduduk Malaysia yang berjumlah 25 juta jiwa. Menyadari hal ini, institusi zakat di Malaysia dituntut untuk semakin kreatif dan bersungguh-sungguh dalam memanfaatkan zakat guna menolong dan mengurangi jumlah orang miskin di Malaysia.

Indonesia memang Negara besar, Penduduknya berkali-kali lipat dari jumlah penduduk Malaysia. Luas wilayah dan keberagamannnya pun berkali-kali lipat dari Malaysia. Tentu saja masalah yang dihadapi pemerintahan dan lembaga zakat di Indonesia jauh lebih kompleks daripada Malaysia. Tapi tentu saja apa yang baik di Negara tetangga itu jika bisa diterapkan di Indonesia, maka kenapa tidak kita coba saja terapkan. Memang ini memerlukan pembahasan serius oleh pemerintah. Kepercayaan kepada Lembaga Zakat, jaringan cabang Lembaga Zakat yang harus ada disetiap kabupaten di Indonesia, dan tentu saja laporan distribusi yang harus bisa diketahui oleh masyarakat sebagai pertanggung jawaban. 
Sekarang mungkin bisa dimulai dari pengurangan objek pajak, karena toh di Malaysia juga tidak serta merta Zakat itu mengurangi pajak 100%. Kelak ke depan, seiring perjalanan perkembangan Lembaga Zakat yang saya yakin akan berkembang dengan pesat, seriring berkembangnya kesadaran masyarakat untuk berzakat. Saya bayangkan, bahwa Zakat kelak akan jadi gaya hidup masayarakat modern. Bahwa Berbagi itu Gaya, Berbagi itu gampang dan Mudah, dan tentu saja Berbagi itu gue banget. Iya, ini mimpi kita semua. Mimpi Mustahik (penerima dana zakat), Mimpi Muzakki (donatur zakat), dan Mimpi Amil Zakat. Semoga mimpi ini bisa segera menjadi nyata."

Ditambah kutipan dari situs hukumonline :

"Dalam setiap agama yang ada di Indonesia memang berlaku berbagai ketentuan berbeda terkait kewajiban keagamaan. Dalam agama Islam misalnya, ada kewajiban mengeluarkan zakat sebesar 2,5%, dan dalam agama Kristen ada kewajiban pembayaran persepuluhan sebesar 10%.
 
Kewajiban mengeluarkan zakat ini didasarkan pada Al-Quran surat Al Baqarah: 267 yang menentukan bahwa setiap pekerjaan yang halal yang mendatangkan penghasilan, setelah dihitung selama satu tahun hasilnya mencapai nisab (senilai 85 gram emas) maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (sumber: Badan Amil Zakat Nasional).
 
Mengenai proses hingga zakat mengurangi pembayaran pajak (dalam hal ini pajak penghasilan), hal ini sudah diatur sejak adanya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 38/1999”), dan kemudian lebih dipertegas oleh UU Zakat yang terbaru yang menggantikan UU 38/1999 yaitu UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat(“UU 23/2011”).
 
Latar belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 bahwa pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang terbaru yakni dalam Pasal 22 UU 23/2011:
 
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”
 
Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:
 
“Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”
 
Dalam ketentuan pasal tersebut baru diatur secara eksplisit bahwa yang tidak termasuk objek pajak adalah zakat. Sedangkan, pengurangan pajak atas kewajiban pembayaran sumbangan untuk agama lain belum diatur ketika itu. Hal ini memang berpotensi menimbulkan kecemburuan dari agama lain yang juga diakui di Indonesia.
 
Dengan dikeluarkannya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”) pasal tersebut mengalami perubahan sehingga berbunyi:
 
“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhakatau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
 
Ketentuan serupa ditegaskan pula dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.
 
 
“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a)      zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b)      sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.”
 
Sedangkan, badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni 2012yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011, yang di antaranya adalah: Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI), dan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) - yang keseluruhannya saat ini berjumlah 21 badan/lembaga."

Mekanisme pengurangan zakat seperti dikutip dari hukumonline :
"Mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan bruto ini dapat kita temui dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Brutosebagai berikut:
Pasal 2
(1).    Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
(2).    Bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a        dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan
b        paling sedikit memuat:
1)    Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
2)    Jumlah pembayaran;
3)    Tanggal pembayaran;
4)    Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
5)    Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
6)    Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.
 
Pasal 3
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila :
a    tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b    bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
 
Pasal 4
(1).    Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tersebut.
(2).    Dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana ayat (1) dilaporkan untuk menentukan penghasilan neto. "

Pedapat saya probadi :
Seandainya zakat bisa mengurangi besarnya pajak itu sendiri, bukan besarnya objek pajak seperti yang berlaku di Indonesia saat ini tentunya akan memberikan rasa nyaman bagi pemeluk Agama Islam, dan pemeluk agama lain yang melaksanakan kewajiban keagamaannya juga. karena tidak melakukan kewajiban ganda. Namun saya masih memahami maksud pemerintah mengapa zakat tidak mengurangi nilai pajak, mungkin hal ini disebabkan oleh penerima zakat yang lebih sempit daripada pajak (hanya 8 golongan). 

Namun di masa depan semoga lembaga penerima zakat atau kewajiban keagamaan bisa bersinergi dengan sistem penerimaan negara bidang pajak sehingga harapan zakat bisa mengurangi besarnya nilai pajak dapat terwujud, sehingga dana zakat dapat digunakan misalnya untuk program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi, dan dana pajak digunakan untuk kepentingan yang lebih luas.




Monday, May 12, 2014

Pengalaman Naik Taxi di Stasiun Pasar Senen


Kereta yang saya tumpangi (KA PROGO jurusan Jogja - Jakarta) sampai di Stasiun Pasar Senen jam 00.30, mau pulang ke kost an di Setia Budi naik busway sudah ga ada, KRL juga susah ga ada, angkot dan metro mini belum ada, pilihan yang ada Taxi atau Ojek, Karena bawa barang lumayan banyak akhirnya saya memilih Taxi

Keluar dari pintu stasiun segera disambut bak presiden hehe dengan tawaran ojek dan taksi, saya sih cuman senyum dan geleng geleng kepala aja menolak tawaran itu. Saya liat liat taxi yang ada di pelataran parkir stasiun ga jelas mereknya, Dalam hati, taxi burung biru dan express kok ga ada ya?

Jalan kaki sebentar ke arah pintu masuk parkiran stasiun Senen, ternyata taxi burung biru dan express berjejer banyak di situ. Langsung tanya salah satu supir taxi express, tapi kok ditanyain tujuan kemana ya? aku jawab ke Setia Budi. Pak sopir nya "Wah saya mau ke arah pool mas" Trus dilempar ke temennya. Ya udah akhrnya masuk ke salah satu taxi express tersebut.

Masuk ke taxi, di tanyain sama supirnya, mau lewat mana mas? Saya jawab aja lewat Tugu Tani aja pak. Akhirnya lewat sana, tapi di jalan supirnya tanya ini lewat mana ya, kanan atau kiri? Ini supir pura-pura ga tau jalan atau memang bener bener ga tau jalan ya? Ya udahlah positive thinking aja lah, mungkin sopirnya lupa jalan. hehe

Beberapa saat kemudian nyampe juga ke Setia Budi dengan ongkos Rp. 53.000, sebenernya bisa hanya dengan Rp. 40.000 karena supir dan saya lupa masuk jalur lambat saat di Jalan Sudirman untuk masuk ke Setia Budi, muter deh sampai Karet Pedurenan

Tips naik taxi dari Stasiun Senen :

1. Menurut beberapa catatan para blogger lainnya, banyak yang menyarankan jangan memakai taxi yang ada di dalam parkiran karena ga jelas dan ga pake argo, jatuhnya bisa mahal. Saya belum coba cross cek sih

2. keluar sebentar ke jalan raya untuk mencari taksi yang lebih kredibel.

3. ketahui rute terpendek dengan detil belok kanan kirinya, sehingga kita bisa berhemat biaya dan tidak terjebak dengan oknum sopir yang cenderung mencari jalan terjauh supaya biayanya mahal.

Tulisan di atas TIDAK ada maksud mendiskreditkan supir taxi ataupun pekerjaan supir taxi. Jadi mohon maaf bila ada kata yang kurang berkenan. CMIIW